Masuknya agama Islam
ke Nusantara belum diketahui secara pasti. Namun ada beberapa pendapat tentang
kapan masuknya agama Islam ke Nusantara berdasarkan temuan-temuan atau
bukti-bukti sejarah.
Beberapa
sumber informasi tentang awal masuknya agama Islam ke Nusantara antara
lain sebagai berikut :
1. Abad ke -7 Masehi
Sumber sejarah yang menginformasikan
Islam masuk ke Nusantara pada abad ke-7 Masehi adalah sebagai berikut :
a. Berita Cina Zaman Dinasti Tang
yang menerangkan bahwa pada tahun 674 M, orang-orang Arab telah menetap di Kanton.
Groeneveldt berpendapat bahwa pada waktu yang sama kelompok orang Arab
yang beragama Islam mendirikan perkampungan di pantai barat Sumatera.
Perkampungan tersebut namanya Barus/Fansur.
b. Pada waktu Sriwijaya mengembangkan kekuasaan sekitar abad ke- 7 dan
8, para pedagang Muslim telah ada yang singgah di kerajaan itu sehingga diduga
beberapa orang di Sumatera telah memasuki Islam.
c. Pada tahun
674 M, Raja Ta-Shih mengirim duta ke kerajaan Holing untuk
membuktikan keadilan, kejujuran dan ketegaran Ratu Sima.
Lokasi kota Kanton, Sriwijaya, dan Holing
2. Abad ke -13 Masehi
Sumber sejarah yang menyatakan Agama
Islam mulai masuk ke Nusantara pada abad ke-13 M adalah sebagai berikut :
a. Catatan perjalanan Marcopollo
yang menerangkan bahwa ia pernah singgah di Perlak pada tahun 1292 M dan
berjumpa dengan orang-orang yang telah menganut agama Islam.
b.
Ditemukannya nisan makam Raja Samudra Pasai Sultan Malik Al-Saleh
yang berangka tahun 1297
M
c.
Berita Ibnu Batutah dari India. Dalam perjalanannya ke Cina, Ibnu
Batutah singgah di Samudra Pasai pada tahun 1345 M. Ia menceritakan bahwa Raja
Samudra Pasai giat menyebarkan Agama Islam.
Peta rute perjalanan Ibnu Batutah
dari India
3. Abad ke -15 Masehi
Sumber sejarah yang menyatakan Agama Islam mulai masuk ke Nusantara pada abad
ke-15 M adalah sebagai berikut :
a. Catatan Ma-Huan
seorang Musafir Cina Islam, memberitakan bahwa pada abad ke-15 M sebagian besar
masyarakat Pantai Utara Jawa Timur telah memeluk Islam.
b. Pemakaman
muslim kuno di Troloyo dan Trowulan. Makam yang berangka tahun
1457 M membuktikan adanya bangsawan Majapahit yang sudah memeluk Agama Islam
pada masa pemerintahan Hayam Wuruk.
c. Makam salah seorang
Wali Songo di daerah Gresik. Pada batu nisannya tertulis nama Malik Ibrahim
(Bangsa Persia) yang wafat pada tahun 1419 M.
d . Suma Oriental dari Tome Pires, catatan musafir Portugal
ini memberitakan mengenai penyebaran agama Islam. antara tahun 1512 M sampai
tahun 1515 M di Sumatera, Kalimantan, Jawa sampai sampai Kepulauan
Maluku.
Peta pesebaran agama Islam di
Nusantara
Golongan pembawa Islam di Nusantara
Adanya
interaksi antara pedagang dari penjuru dunia dengan intensitas yang tinggi,
memunculkan beragam teori mengenai siapakah sebenarnya yang memperkenalkan
Agama Islam kepada penduduk Nusantara. Proses masuk dan berkembangnya agama
Islam di Nusantara menurut Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya Menemukan
sejarah, wacana pergerakan Islam di Indonesia, terdapat tiga teori yang
memberikan jawaban tentang permasalahan waktu masuknya Islam ke Nusantara, asal
negara dan tentang pelaku penyebar atau pembawa agama Islam ke Nusantara.
Adapun
ketiga teori tersebut yang menjelaskan mengenai masuknya Islam ke Nusantara
antara lain sebagai berikut :
a. Islam datang
dari Arab (teori Mekah)
b. Islam datang
dari Gujarat (teori Gujarat)
c. Islam datang
dari Persia (teori Persia) .
1.
Islam datang
dari Arab ( teori Mekah )
Teori ini
merupakan teori baru yang muncul sebagai sanggahan terhadap teori lama yaitu
teori Gujarat. Dasar teori ini adalah :
a.
Pada abad ke-7 yaitu tahun 674 M
dipantai barat Sumatera sudah terdapat perkampungan Islam (Arab) dengan
pertimbangan bahwa pedagang Arab sudah mendirikan perkampungan di Kanton
sejak abad ke-4. Hal ini juga sesuai dengan berita Cina.
b. Kerajaan Samudra Pasai menganut aliran mazhab Syafii,
dimana pengaruh mazhab Syafii terbesar pada waktu itu di Mesir dan Mekkah.
Sedangkan Gujarat/India adalah penganut mazhab Hanafi.
c.
Raja-raja samudra Pasai menggunakan
gelar Al-Maliki yaitu gelar tersebut berasal dari Mesir. Pendukung teori
Mekah ini adalah Buya Hamka, Alwi Shihab, Ahmad Mansur Suryanegara, Fazlur
Rahman, Crawford, Niemann, De Holander. Para ahli yang mendukung teori ini
menyatakan bahwa abad ke-13 sudah berdiri kekuasaan politik Islam, jadi
masuknya Agama Islam ke Nusantara terjadi sebelumnya yaitu abad ke-7 M dan yang
berperan besar terhadap proses penyebarannya adalah bangsa Arab sendiri.
2. Islam datang dari Gujarat ( teori
Gujarat )
Pendapat ini
dikemukakakan oleh Soetjipto Wirjosoeparto dan Christian Snouck
Hurgronje dari Belanda. Ia berpendapat bahwa Islam masuk ke Nusantara bukan
dari Arab. Melainkan dari Gujarat/India. Hubungan langsung antara Nusantara dan
Arab baru terjadi pada masa kemudian yaitu contohnya hubungan utusan dari
Mataram dan Banten ke Mekah pada pertengahan abad ke-7 M. Pendapat tersebut
didasarkan pula kepada unsur-unsur Islam di Nusantara yang menunjukkan
persamaannya dengan India. Menurut pendapat Prof. DR. Azyumardi Azra (Direktur
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah), teori Gujarat yang dipopulerkan oleh
Snouck Hurgronje tidak benar. Dia mengatakan Islam dibawa oleh pedagang yang
datang dari Gujarat pada abad ke- 12 atau abad ke-13. Padahal masa itu, Gujarat
dikuasai oleh kerajaan Hindu yang kerap mengusir kapal-kapal pedagang muslim
yang disanggah.
3. Islam datang
dari Persia (teori Persia)
Teori ini
berpendapat bahwa Islam masuk ke Nusantara abad ke-13 M dan pembawanya berasal
dari Persia (Iran). Teori ini mengungkapkan adanya kesamaan budaya yang
dimiliki oleh beberapa kelompok masyarakat Islam Nusantara dengan penduduk
Persia. Misalnya peringatan hari Asyura (10 Muharam) atas meninggalnya Hasan
dan Husen cucu Nabi Muhammad, yang sangat dijunjung oleh orang Syi’ah/Islam
Iran. Di Sumatra Barat peringatan tersebut disebut dengan upacara Tabuik/Tabut.
Sedangkan di pulau Jawa ditandai dengan pembuatan bubur Syuro, penggunaan
istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab untuk tanda-tanda bunyi
harakat. Baris atas disebut Jabar,
bawah disebut Ajer, dan depan disebut Pes, sedang dalam bahasa
Arab ejaan itu disebut Fathah, Kasrah dan Dhommah. Didalam
tulisan Arab, Sin bergigi sedangkan dalam tulisan Persia tidak bergigi
sementara itu, Oemar Amir Hoesin mengatakan bahwa di Persia terdapat
suku bangsa ”Leren”. Beliau inilah yang dahulu datang ke tanah Jawa
sebab di Giri terdapat Kampung Leran, dan nisan Maulana Malik Ibrahim (1419) di
Gresik.
Pendukung teori Persia adalah
P.A. Hoesein Djajadiningrat, Haji Muhammad Said, J.C. Van Leur, M. Dahlan
Mansur dan Haji Abu Bakar Aceh.
Peran
penyebaran Islam di Nusantara
Proses
persebaran pengaruh Islam di Nusantara berjalan dengan lancar. Hal itu terbukti
dari wilayah persebaran yang luas, mencakup hampir seluruh kepulauan Nusantara.
Penyebabnya
antara lain sebagai tersebut :
1. Agama Islam
yang menyebar di Nusantara disesuaikan dengan adat dan tradisi bangsa Indonesia
dan dalam penyebarannya dilakukan dengan damai tanpa kekerasan.
2. Agama Islam
tidak mengenal sistem kasta dan menganggap semua manusia mempunyai kedudukan
yang sama di hadapan Allah SWT.
3. Upacara-upacara
dalam Agama Islam sangat sederhana bila dibandingkan dengan Agama lainnyaa.
4. Faktor politik
ikut memperlancar penyebaran Agama Islam di Nusantara, yaitu keruntuhan
kerajaan Sriwijaya dan Majapahit sebagai kerajaan Budha dan Hindu di Nusantara.
5. Syarat-syarat
masuk agama Islam sangat mudah.Seseorang telah dianggap telah masuk Islam bila
ia telah mengucapkan dua kalimat syahadat
Dari faktor
penyebab tersebut diatas agama Islam dapat diterima oleh bangsa Indonesia tidak
terlepas dari :
1. Peranan para
pedagang.
2. Peranan para
ulama/Wali
1. Peranan Pedagang
Awal penyebaran Agama Islam di
Nusantara tidak lepas dari peran para pedagang. Para pedagang yang berdatangan
di Nusantara berperan sebagai pedagang dan ulama (orang yang memahami ajaran
Islam) Oleh karena itu, selain menjalankan profesi berdagang mereka juga
menyebarkan Agama Islam. Mereka amat giat memperkenalkan nilai-nilai Islam ke
seluruh penduduk. Para pedagang Gujarat, Arab, dan Persia yang datang ke
Nusantara berupaya mencari simpati dari masyarakat setempat. Melalui hubungan
yang saling terbuka diantara raja, bangsawan, pedagang dan masyarakat setempat
maka terjadilah perubahan sosial baik secara vertikal maupun horizontal.
Perubahan sosial secara vertikal
ditandai dengan banyaknya pedagang Islam yang memperoleh keuntungan dari
kegiatan dagangnya. Para pedagang tersebut memiliki kekayaan yang cukup banyak
sehingga mampu meningkatkan status sosialnya. Menurut perjalanan Tome Pires
yang mengunjungi pelabuhan Tuban dan Gresik pada tahun 1514 terdapat pedagang
Islam yang kaya dan penguasa-penguasa di pelabuhan. Oleh karena itu para
pedagang di pelabuhan Tuban dan Gresik memiliki otonomi yang kuat dan disegani
oleh penguasa Majapahit. Islam dan dagang merupakan dua hal yang tidak dipisahkan
pada zaman ramainya perdagangan di perairan Nusantara abad ke-12 – ke-17.
2. Peranan Ulama/Wali
Selain para pedagang peran ulama dan Wali sangat besar dalam percepatan proses
penyebaran Islam. Mereka menyebarkan agama Islam melalui langgar,
surau/madrasah. Madrasah yang tersohor pada waktu itu seperti di Ampel, Giri,
Tuban, Kudus dan Demak. Para ulama yang sangat berjasa dalam penyebaran agama
Islam di Jawa adalah Wali Sanga atau Wali Sembilan. Wali adalah seorang
Islam yang tinggi budi pekertinya dan tinggi dalam ilmu agamanya.Wali adalah
sebutan bukan nama. Disamping mempunyai peranan yang sangat besar dalam
penyebaran agama Islam di Jawa. Wali Sanga juga berperan sebagai penasihat raja
dan pendukung raja-raja Islam yang berkuasa, bahkan ada yang menjadi raja,
seperti Sunan Gunung Jati.
Adapun nama-nama Wali Sanga berikut perjuangannya dalam penyebaran agama Islam
di berbagai daerah adalah sebagai berikut;
-Maulana Malik Ibrahim
-Sunan Ampel
-Sunan Drajad
-Sunan Bonang
-Sunan Giri
-Sunan Kalijaga
-Sunan Kudus
-Sunan Muria
-Sunan Gunung Jati
Penyebaran
agama Islam di Jawa selain dilakukan oleh Wali Sanga juga dilakukan oleh para
ulama, seperti
-Syekh Siti Jenar (Demak)
-Sunan Tembayat (Klaten)
-Syekh Yusuf (Banten)
-Sunan Geseng (Magelang)
-Sunan Panggung (Tegal)
-Syekh Abdul Muhyi (Tasikmalaya)
-Syekh Burhanuddin (Minangkabau)
-Syekh Abdurrauf Al Fanhury ( Aceh ).
Islam selain berkembang pesat di Pulau Jawa juga berkembang di pulau
lainnya di Indonesia. Dakwah Islam itu juga dilakukan oleh beberapa ulama
besar, seperti; Datori Bandang (Gowa,
Makassar), Dato Sulaiman (Sulawesi
Tengah dan Utara), Tuan Tunggang ri Parangan (Kalimantan Timur) dan Penghulu Demak (Banjarmasin dan Kalimantan Selatan).
Perkembangan
Kerajaan Islam di Nusantara
1. Kerajaan Samudra Pasai
Kerajaan Samudra Pasai terletak di sebelah utara Perlak di daerah Lhokseumawe (sekarang
pantai timur Aceh). Kerajaan Samudra Pasai merupakan kerajaan Islam pertama di
Nusantara dan berdiri pada abad ke- 13 M. Wilayahnya strategis karena menghadap
Selat Malaka.
Awal berdirinya kerajaan Samudra Pasai diketahui dari batu nisan makam raja
Malik al-Saleh yang wafat tahun 1297 M. Diperkirakan bahwa Sultan Malik
al-Saleh (1290-1297) merupakan pendiri dan raja pertama kerajaan Samudra Pasai.
Setelah Malik al-Saleh wafat, kerajaan Samudra Pasai dilanjutkan oleh Sultan
Muhammad Malik al-Taher (1297 – 1326 M), Sultan Ahmad dan Sultan Zainal Abidin.
Menurut beberapa sumber sejarah, banyak pedagang dari berbagai negara berlabuh
di Pelabuhan Pasai. Pelabuhan Pasai yang sangat strategis itu dijadikan sebagai
tempat untuk transit barang-barang dari berbagai negara sebelum diekspor ke
tempat lain. Kerajaan Samudra Pasai mampu memanfaatkan ramainya perdagangan
internasional yang dilakukan oleh para pedagang Islam. Mata uang yang digunakan
oleh masyarakat Samudra Pasai dalam kegaiatan dagang ketika itu adalah mata
uang emas (berita Marcopolo tahun 1292 M dan Ibnu Batutah tahun 1326 M).
Samudra Pasai telah berperan sebagai pusat penyebaran Islam ke berbagai kawasan
sekitarnya.
2. Kerajaan Aceh
Pendiri
kerajaan ini ialah Ali Mughayat Syah (1513-1528 M). Pada masa
pemerintahannya, Aceh menyatukan kerajaan-kerajaan disekitarnya, seperti
Kesultanan Samudra Pasai, Perlak, Lamuri, Benua Tamiang dan Indera Jaya. Raja
berikutnya Sultan Alauddin Riayat Syah (1537-1568 M). Dalam masa
kekuasaannya, Aceh terus berusaha mengusir Portugis yang berkeinginan menguasai
wilayahnya dan menyerang Johor yang bersekutu dengan Portugis. Usaha membangun
kebesaran Aceh lainnya adalah menjalin hubungan dengan Turki, Persia, India dan
Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa.
Kerajaan Aceh
mencapai kejayaannya dibawah Pemerintahan Sultan Iskandar Muda
(1607-1636 M). Pada masa kekuasaanya, wilayah Aceh semakin luas yaitu dari
pesisir barat samudra sampai Bengkulu, pesisir timur Sumatera sampai Siale,
Johar, Pahang dan Pattani.
Sultan Iskandar
Muda kemudian digantikan oleh Sultan Iskandar Thani (1636-1641 M). Pada
masa kekuasaannya, ia lebih memperhatikan pengembangan dalam negeri ketimbang
politik ekspansi, berkembangnya studi Islam masa pemerintahan Sultan
Iskandar Thani karena didukung oleh kehadiran Nuruddin ar Raniri (seorang
ahli tasawuf yang berasal dari Gujarat, India. Nuruddin ar Raniri pernah
singgah di Aceh sekitar tahun 1637 – 1644 M. Nuruddin ar Raniri banyak menulis
buku tasawuf. Hasil karyanya yang terkenal adalah Bustanus Salatin yang berisi
sejarah Aceh). Setelah Sultan Iskandar Thani wafat, kerajaan Aceh mulai
mengalami kemunduran.
3. Kerajaan Demak
Kerajaan Demak
merupakan Kerajaan Islam pertama di Jawa. Pendirinya ialah Raden Fatah
(1478 – 1518 M). Kerajaan ini
memiliki wilayah yang luas dan membentang di pesisir utara Jawa, bekas Kerajaan
Majapahit.
Setelah
sebagian besar wilayah Jawa dikuasainya, Kerajaan Demak melakukan ekspansi
ke luar Jawa. Caranya, dengan menyerang Malaka yang sudah jatuh ketangan
Portugis. Pemimpin serangan itu ialah Pati Unus (1518-1521 M) dan
dikenal dengan Pangeran Sabrang Lor. Serangan itu mengalami kegagalan,
karena jarak serangan terlalu jauh dan Demak kurang memiliki
persenjataan. Walaupun gagal, kerajaan Demak telah membuktikan bahwa kerajaan
Nusantara mampu melawan kekuatan bangsa Barat.Kerajaan Demak mengalami kejayaan
pada masa pemerintahan Sultan Trenggono (1521-1546 M). Pada masa
pemerintahannya, Demak berusaha membendung masuknya Portugis ke Jawa. Setelah
Sultan Trenggono wafat, Demak mengalami kemunduran yang disebabkan adanya
perebutan kekuasaan dan kelemahan sistem pemerintahan di Kerajaan Demak.
Kerajaan Demak memiliki peranan besar sebagai pusat penyebaran Islam di
Jawa. Demak pun membangun masjid yang menggunakan perpaduan antara
kebudayaan Jawa dan Islam. Masjid yang dimaksud adalah Masjid
Raya Demak dan Masjid Raya Kudus.
4.
Kerajaaan Mataram Islam
Pendiri
Kerajaan Mataram ialah Kyai Ageng Pamanahan. Setelah meninggal tahun
1575 M, Pamanahan digantikan oleh anaknya bernama Sutawijaya. Pada masa
pemerintahan Sutawijaya, wilayah kekuasaan Mataram meliputi Jawa Tengah, Jawa
Timur, Cirebon dan sebagian Priangan.
Sutawijaya
kemudian digantikan Mas Jolang (1511-1613 M). Pada masa pemerintahan Mas
Jolang, Mataram Islam tidak mampu memperluas wilayahnya karena disibukkan
dengan usaha mengatasi para pemberontak.
Pengganti Mas
Jolang ialah Raden Rangsang (1613-1645 M) yang bergelar Sultan Agung
Hanyokrokusumo. Cita-cita perjuangan kedua pendahulunya tetap dilanjutkan
sejak tahun 1614 M, Sultan Agung mulai bergerak menaklukkan kembali daerah di
pesisir utara Jawa. Balatentara Mataram berhasil menaklukkan Lumajang,
Pasuruan, Kediri, Tuban, Pajang, Lasem, Madura, Surabaya dan Sukadana
(Kalimantan). Sedangkan di daerah pedalaman yang tidak mau tunduk kepada
kerajaan Mataram Islam, yaitu Madura, Ponorogo, Blora dan Bojonegoro. Setelah
Surabaya jatuh hampir seluruh Jawa dikuasainya hanya tinggal Cirebon, Banten
dan Batavia yang belum dikuasai. Pada tahun 1628 M dan 1629 M Mataram menyerang
Batavia, namun tidak berhasil karena kurangnya persiapan logistik. Sultan Agung
adalah seorang organisator, ahli politik, ahli filsafat dan ahli sastra.
Berikut ini adalah hasil karya Sultan Agung, yaitu :
a.
Tahun 1833 M, Sultan Agung menciptakan Tarikh Jawa Islam yang dimulai 1
Muharam 1043 H.
b.
Mengarang buku ”sastra gending” yang berisi ajaran filsafat mengenai
kesucian jiwa.
c.
Membuat buku undang-undang hukum pidana dan perdata yang diberi nama ”surya
alam”.
5. Kerajaan Cirebon
Awalnya Cirebon merupakan bagian dari kerajaan Pajajaran. Pada abad ke- 16,
Cirebon berkembang menjadi pelabuhan yang ramai dan pusat perdagangan di pantai
Jawa Barat bagian utara. Setelah jumlah pedagang semakin banyak dan proses
Islamisasi berkembang terus, Sunan Gunung Jati segera membentuk pemerintahan
kerajaan Islam Cirebon.
Cirebon dan Demak memiliki hubungan dekat. Secara ekonomi, pelabuhan Banten
dijadikan sebagai pelabuhan bagi perkembangan ekonomi Demak di wilayah Cirebon,
sebelum pelabuhan ini berdiri sendiri sebagai kerajaan. Adapun secara politik
dan budaya, hubungannya terjadi melalui perkawinan. Pada tahun 1524 M, Sunan
Gunung Jati menikahi saudara perempuan raja Demak. Dari perkawinan tersebut,
Sunan Gunung Jati memperoleh anak bernama Hasanuddin yang kemudian dinobatkan
sebagai Sultan Banten, setelah Demak merebut Banten dari penguasa Pajajaran.
Adapun Sunan Gunung Jati, setelah meletakkan dasar-dasar pemerintahan
kesultanan Banten segera membentuk pemerintahan di Cirebon pada tahun 1552 M.
Masih ada perbedaan pendapat mengenai apakah Sunan Gunung Jati dengan
Fatahillah sama orangnya atau berbeda ? Selama ini terdapat dua versi mengenai
tokoh tersebut. Versi pertama dikemukakan oleh sejarawan Hoesien Djajadiningrat
(1913) yang merujuk pada sumber-sumber yang dikemukakan oleh catatan sejarah
bangsa Portugis dan sumber-sumber lainnya mengatakan bahwa Sunan Gunung Jati
ialah sama dengan Fatahillah, Falatehan, Tagaril, atau Syarif Hidayatullah.
Versi kedua dikemukakan oleh sejarawan Atja (1972) dan Edi S. Ekadjati (2000)
mengatakan bahwa Fatahillah dan Sunan Gunung Jati ialah dua orang yang berbeda,
walaupun keduanya ialah sama-sama tokoh penyebar Islam di Cirebon. Versi kedua
ini didukung oleh Babad Cirebon dan naskah Carita Purwaka Caruban Nagari.
6. Kerajaan
Banten
Hasanuddin sebagai anak dari Sunan Gunung Jati dianggap sebagai raja dari
Kerajaan/Kesultanan Banten yang pertama. Adapun Sunan Gunung Jati dianggap
sebagai pendiri kerajaan Banten.
Seperti halnya ayahnya, Hasanuddin memiliki hubungan keluarga dengan Raja Demak
(Sultan Trenggono) melalui perkawinan. Dari perkawinan tersebut, Hasanuddin
memperoleh dua orang anak, yaitu Maulana Yusuf dan Pangeran Jepara.
Anak kedua diangkat menjadi penguasa Jepara, sedangkan Maulana Yusuf sebagai
anak pertama diangkat menjadi Raja Banten.
Perebutan tahta di Banten terjadi sepeninggal Maulana Yusuf, yaitu antara Maulana
Muhammad (anak Maulana Yusuf) dengan Pangeran Jepara. Namun usaha ini dapat
digagalkan oleh pasukan Banten. Dari kegagalan serangan tersebut, Banten dan
Cirebon berdiri sebagai kerajaan yang berdaulat.
Banten mencapai
masa kejayaannya dibawah pimpinan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682 M).
Selama masa pemerintahannya, Sultan Ageng terlibat pertempuran melawan VOC.
Kegigihan Sultan Ageng ditentang oleh Sultan Haji. Kesempatan ini dimanfaatkan
VOC untuk menggunakan politik adu domba sehingga tidak lama kemudian Sultan
Ageng dapat ditangkap Belanda tahun 1683 M dan dipenjara di Batavia sampai
akhirnya wafat tahun 1692 M. Akhirnya, Sultan Haji dipaksa untuk menandatangani
perjanjian dengan VOC. Harus menerima kenyataan bahwa Belanda memonopoli
perdagangan di Banten.
7. Kerajaan
Makassar
Pada abad ke- 16 di pulau Sulawesi berkembang banyak kerajaan diantaranya
kerajaan Luwu,Gowa, Wajo, Soppeng, Tallo dan Bone. Diantara kerajaan-kerajaan
tersebut terdapat persaingan perebutan hegemoni di Sulawesi Selatan dan kawasan
Indonesia bagian Timur. Dua kerajaan berhasil memenangkan persaingan tersebut,
yaitu Gowa dan Tallo yang kemudian lebih dikenal sebagai Kerajaan
Makassar.Kerajaan Makassar mencapai puncak kejayaannya pada masa Sultan
Hasanuddin (1653-1669 M).
Sultan
Hasanuddin berhasil memperluas daerah kekuasaannya di Sulawesi Selatan
termasuk Kerajaan Bone. setelah VOC mengetahui pelabuhan Makassar yaitu
Sombaopu cukup ramai dan banyak menghasilkan beras. Kerajaan-kerajaan di
Sulawesi Selatan memiliki tradisi merantau.Tradisi ini berkaitan dengan
kehidupan ekonomi perdagangan antar pulau. Pada masa kejayaannya, pedagang
Makassar melakukan kegiatan perdagangan dengan berbagai Pelabuhan di seluruh
Nusantara.Hubungan diplomatik juga dilakukan antara lain dengan
kerajaan-kerajaan di Asia, seperti Mindanao, Mogul, Turki dan Sulu. Sikap
terbuka masyarakat Kerajaan Makassar menyebabkan terbentuknya perdagangan bebas
di kawasan ini. VOC mulai mengirimkan utusan untuk membuka hubungan
dagang serta membujuk Sultan Hasanuddin untuk bersama-sama menyerbu Banda
(pusat rempah-rempah). Namun, bujukan VOC itu ditolak. Setelah peristiwa itu
antara Makassar dan VOC mulai terjadi Konflik. Keadaan meruncing sehingga pecah
perang terbuka. Dalam peperangan tersebut, VOC sering mengalami kesulitan
dalam menundukkan Makassar oleh karena itu, VOC memperalat Aru Palaka (Raja
Bone) yang ingin lepas dari kerajaan Makassar dan menjadi kerajaan
merdeka. Akhirnya Makasar diduduki VOC melalui Perjanjian Bongaya tahun
1667 M.
8. Kerajaan
Ternate dan Tidore
Kerajaan
Ternate dan Tidore merupakan dua kerajaan di kepulauan Maluku. Dalam sejarah
perkembangannya, kedua kerajaan tersebut bersaing untuk memperebutkan kekuasaan
politik dan ekonomi. Tidak jarang mereka melibatkan kekuatan-kekuatan asing,
seperti Portugis, Spanyol dan Belanda. Kekuatan-kekuatan asing tersebut dalam
perkembangannya berambisi pula untuk menguasai secara monopoli perdagangan
rempah-rempah di kawasan ini. Persaingan antara kerajaan Ternate dan Tidore diperburuk
dengan ikut campurnya bangsa Portugis yang membantu Ternate dan bangsa Spanyol
yang membantu Tidore. Setelah memperoleh keuntungan, kedua bangsa barat
tersebut bersepakat untuk menyelesaikan persaingan mereka dalam Perjanjian
Saragosa ( 22 April 1529). Hasil perjanjian tersebut, Spanyol harus
meninggalkan Maluku dan menguasai Philipina, sedangkan Portugis tetap melakukan
perdagangan di kepulauan Maluku.
Walaupun sedang bersaing
memperebutkan hegemoni di kawasan tersebut, kerajaan-kerajaan di Maluku tetap
tidak menginginkan bangsa-bangsa barat mengganggu kegiatan perdagangan di
kawasan tersebut. Hal itu merupakan salah satu ciri kerajaan-kerajaan Islam di
Maluku. Oleh karena itu, mereka selalu mengadakan perlawanan terhadap kekuasaan
asing. Misalnya, perlawanan yang dilakukan oleh Sultan Hairun (1550 –
1570 M) dan perlawanan Sultan Baabullah (1570-1583).Perlawanan yang
terakhir ini mampu memaksa bangsa Portugis meninggalkan Maluku dan memindahkan
kegiatannya ke Timor Timur (sekarang Timor Leste). Adapaun perlawanan terhadap
Belanda dilakukan pada masa pemerintahan Sultan Nuku (1780 – 1805 M).
Dikutip dari : http://ips-smpn1selong.webhostingindonesia.net/MP_149.html